TUGAS PKN KD 3

Selasa, 27 Januari 2009


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa negara dan bangsa kita ini membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Kebebasan pers di Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target media. Pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara atau kepentingan rakyat. Tetapi dalam rangka kebersamaan dan kepentingan yang diharapkan kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak tapi kepentingan pengelola (sumber), maupun kepentingan sasaran publik.

Ketentuan tentang penyelenggaraan pers di negara Kita diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 yaitu tentang ketentuan-ketentuan pokok pers yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum, tapi sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan maka Undang-Undang ini diperbarui dengan Undang-Undang nomor 04 tahun 1967 dan perbaharuan terakhir yaitu Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan alat perjuangan nasional.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan pers :

a. Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam masyarakat peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus konkret.

b. Komitmen pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi komitmen akan kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam suatu hubungan yang konteradiktif.

c. Visi dan editorial policy, yang akan membedakan media cetak yang satu dengan media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria dalam proses menyeleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan pemberitaan.).

Peranan pers pada Masa Orde Baru
Di Masa Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya Pwi (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di tanah air.

Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya. Dan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan Abar berkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya pada lembaga pers.

Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan—tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab.

Peranan Pers di Seputar Orde Reformasi
Tertutupnya kran kebebasan pers ternyata pada gilirannya turut mendorong insan-insan jurnalis untuk meneriakan reformasi. Lebih-kurang 30 tahun lamanya masyarakat kita berada di bawah rezim yang otoriter, memberangus kebebasan dan meniadakan penghormatan kepada hak-hak azasi manusia. Pemerintah beranggapan bahwa rakyatlah yang harus menurut, bahwa pemerintahlah yang benar dan harus diturut. Dan mereka yang mencoba-coba memberikan kritiknya pada kekuasaan, yang mencoba memberikan alternatif yang lebih baik kepada kekuasaan akan dianggap ‘menyerang kehormatan’ kekuasaan, ‘merongrong kewibawaan’ kekuasaan dan sebab itu harus dimusuhi, mereka ditindas, ditangkap, diajukan ke pengadilan, dihukum penjara, disiksa atau ditembak sebagi ‘pengacau keamanan’ negara dan ‘pengganggu stabilitas’ nasional.


Keotoriteran Orde Baru akhirnya disambut oleh masyarakat dengan teriakan reformasi. Perubahan pemerintahan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Pada titik inilah, pers kembali memainkan perannya setelah lama dibungkam, dipaksa untuk tutup mulut. Selanjutnya, pers tampil dengan wajah baru; demokratis, akomodatif, transformatif, sekaligus konsolidatif terhadap semua kepentingan kemanusiaan dalam dimensi kewarganegaraannya. I’tikad baik pemerintah di masa Orde Reformasi ini terlihat dari lahirnya UU No. 40 Tahun 1999, UU ini juga sekligus mencabut UU No. 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang dijadikan legitimasi hukum oleh rezim yang hegemonik sebelumnya.

Peran pers di masa reformasi menjadi penting untuk menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Tentunya hal yang wajar jika masyarakat gagap hendak menggunakan model komunikasi semacam apa ketika reformasi telah membuka kran kebebasan sebebas mungkin, pasalnya masyarakt sudah terbiasa dengan pola komunikasi top-down selama 30 tahun lamanya. Di sinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik yang terjadi tidak melulu berkesan top-down, tetapi pada titik tertentu menjadi bottom-up. Meskipun pada praktiknya untuk mewujudkan komunikasi politik bottom-up melalui media massa tidaklah mudah. Karena pada masa reformasi, setiap komunikator politik memainkan perannya lebih maksimal. Muis mencatat bahwa hampir semua opini publik yang bernuansa kritik sosial yang konstruktif melalui pers hampir selalu memperoleh bantahan dari para komunikator elit, yang ada justru pers menjadi media yang memungkinkan terjadinya krisis informasi.

Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yang mencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus mencatat sedikitnya ada enam prinsip tanggungjawab sosial yang harus diemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang atau tinggi tentang informasi, kebenaran, obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada, keempat; media sedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama, kelima; media hendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untuk menjawab, keenam; masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.


Teori-teori yang mendukung :

Teori Pers Tanggungjawab Sosial

Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa.

Teori Pers Otoritarian

Pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan.

Teori Pers Libertarian

Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.

Undang-undang No 11 Tahun 1966

Tentang ketentuan-ketentuan pokok pers yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1)

Berkaitan dengan pembentukan dan pengesyahan suatu undang-undang. "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat"

UU No. 40 Tahun 1999

Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang dijadikan legitimasi hukum oleh rezim yang hegemonik sebelumnya.


Analisa :

Pers itu merupakan kumpulan berita, head line, tajuk, artikel, cerita, iklan, karikatur dan informasi yang dicetak disuatu kertas yang diterbitkan secara teratur (harian, mingguan, bulanan). Pers itu penting bagi kemasyarakatan serta kenegaraan, karena berbicara tentang pers kita juga akn berbicara tentang masyarakat yang demokratis, pers itu tidak akan terlepas dari berbicara masalah komunikasi politik. Komunikasi politik merupakan segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik. Dalam suatu sistem politik komunikasi itu, politik juga sebagai penghubung antara situasi kehidupan yang ada pada struktur politik untuk menciptakan kondisi politik yang stabil.

2 komentar:

Green School mengatakan...

Ok prnya udah diperiksa lumayan....btw...tuh tulisan awal kenapa jadi nge blok putih gitu, ayo di apain....analisanya kurang hilya dari UU No 40 Tahun 1999 harusnya dikaitkan tuh...

artiirhamna mengatakan...

malam... nice post sobat!!!

/baca /bye /ding /hore /joget
/kembik /love /marah /melet /mencak
/nangis /ngayal /puyeng /serem /stres
Posting Komentar